dakwatuna.com - Dua ibu muda bertengkar hebat di
depan sebuah sekolah taman kanak-kanak. Perang mulut yang berlanjut adu
otot itu bermula ketika anak-anak mereka bermain lempar-lemparan tas,
yang menyebabkan salah satunya menangis.Seorang ibu yang kepala
anaknya sedikit benjol akibat lemparan tas berisi buku itu merasa tidak
terima. Dia lalu mengumpat ibu dari anak pemilik tas. Adu mulut terjadi.
Umpatan berbalas umpatan, hingga emosi kedua belah pihak meledak. Kini,
pertengkaran kecil antar anak berganti perang antar orangtua.
Kasus
serupa, meski tidak selalu sama, boleh jadi bukan kali pertama terjadi.
Kerap kali kita jumpai perselisihan antar orangtua dipicu oleh
persoalan anak. Ironisnya, perselisihan antar orangtua tua itu berbuntut
perang dingin dalam kurun lama. Masing-masing pihak enggan saling
menyadari kesalahan. Hubungan harmonis antar sesama pun menguap entah ke
mana.
Sebenarnya, jika kita mau sedikit berpikir dewasa, hal
demikian sangat disayangkan terjadi. Pertengkaran antar anak
sesungguhnya adalah hal wajar. Tidak usah terlalu didramatisasi,
sehingga membuat keadaan semakin keruh. Sayang, tampaknya tidak semua
orang dewasa mampu berpikir secara dewasa pula.
Dalam hal ini,
kita patut belajar pada anak-anak. Meski sempat bertengkar, semenit
kemudian, mereka kembali akur. Setelah menangis sebentar akibat rebutan
mainan, misalnya, anak-anak kembali tertawa bersama. Pertengkaran mereka
tidak pernah berlangsung dalam hitungan hari, apalagi bulan. Justru
orangtua mereka yang sibuk dengan ego masing-masing, sehingga sukar
untuk kembali akur. Bahkan, sekadar tegur-sapa pun enggan.
Sebagai
orangtua, kita semestinya bisa bersikap lebih cerdas dan bijak. Ketika
melihat anak-anak bertengkar atau saling mengolok-olok, ini seharusnya
bisa kita jadikan pintu masuk untuk memberikan pendidikan hidup
bersosial. Orangtua harus memberikan pemahaman kepada anak-anak tentang
cara mengelola konflik.
Dalam hidup bermasyarakat, konflik sosial
mustahil dihindari. Kepada anak-anak, penting ditanamkan budaya saling
mengalah dan menghargai sesama. Tidak sepantasnya orangtua menjadi setan
yang mengadu domba dengan menyalahkan si teman, apalagi di depan anak.
Jika
itu terjadi, berarti orangtua secara tidak sadar telah menanamkan
bibit-bibit egoisme dan arogansi dalam jiwa anak. Ini berbahaya. Apalagi
demi membela anak sendiri, yang belum jelas salah-benarnya, kita tidak
ragu untuk bertengkar sesama orangtua.
Dari situ anak akan belajar
tentang cara-cara penyelesaian masalah. Anak akan menyangka bahwa jalan
keluar dari segala masalah adalah dengan jalan bertengkar, atau bila
perlu beradu fisik. Inilah teladan yang menyesatkan.
Orangtua
harus lebih banyak belajar tentang pola pendidikan anak. Jangan sampai,
atas dasar rasa sayang, pola pendidikan kita justru menyesatkan jiwa
anak. Bukankah sudah banyak kita jumpai orangtua yang merelakan anaknya
putus sekolah dengan alasan sayang karena sang anak sudah tidak betah
dengan sekolah?
Tidak jarang pula ada orangtua yang sendiko
dawuh atas segala permintaan anak, meski permintaan itu jauh dari
nilai-nilai pendidikan. Yang lebih fatal lagi, masih ada orangtua yang
mengizinkan anaknya merokok karena merasa kasihan akibat sang anak sudah
ketagihan. Dan ketika anak bersangkutan dihukum oleh sekolah, orangtua
tidak segan-segan mendatangi dan menyalahkan pihak sekolah sembari
berdalih bahwa anaknya itu merokok karena sudah mengantongi izin
darinya. Luar biasa.
Maka jangan heran jika nilai-nilai kesopanan
sudah semakin menjauh dari kehidupan anak. Tidak sedikit anak zaman
sekarang yang sudah berani abai, bahkan melawan peraturan guru dan
sekolah. Nilai-nilai tata krama tidak lagi menjadi urusan yang harus
diindahkan. Sikap demikian semakin memperoleh pembenaran ketika mereka
merasa mendapat dukungan dan pembelaan dari orangtua.
Akhirnya,
mari kita segera mengupas diri. Sudahkah pola kasih sayang kita kepada
anak-anak membuahkan nilai-nilai pendidikan, atau justru sebaliknya,
melemparkan mereka ke jurang kehancuran?
No comments:
Post a Comment